Jumat, 23 Desember 2011

Khasanah Kebudayaan Bugis
Judul: Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis

BUKU yang terdiri dari empat bab ini merupakan penerbitan ulang yang pertama kali diterbitkan pada 1985 oleh Hasanuddin University Press. Dalam edisi Ombak ini, hanya menambah "Kata Pengantar" dan tidak mengikutkan sambutan-sambutan dan pengantar penerbit sebelumnya. Selebihnya, masih sesuai dengan aslinya.

Karya ini merupakan usaha pengungkapan khasanah kebudayaan Bugis. Ia adalah salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Karena berbagai faktor, kehadirannya telah menarik berbagai bangsa, baik di kawasan Nusantara dan Semenanjung maupun di kalangan orang-orang Eropa. Pada pertengahan abad 16 sifat dan watak manusia Bugis-Makassar sudah ditulis oleh orang Portugis, Prancis, Inggris, dan yang lebih banyak mendalaminya adalah sarjana-sarjana Belanda.

Penulis mencoba menampilkan berbagai nilai budaya yang terdapat dalam paupau rikadong yang ditemukan dalam Boegineesch Chrestomatie yang dihimpun oleh B.F. Matthes, pendeta Belanda di abad 16 yang lalu, yang sangat besar perhatiannya pada budaya masyarakat di Sulawesi Selatan. Paupau rikadong berasal dari kata paupau, yang dalam Bahasa Bugis berarti "dongeng, ceritera, kisah", rikadong, yang berarti "menganggukkan kepala, mengiyakan, menyetujui".

Jadi, paupau rikadong kurang lebih berarti "ceritera yang disetujui, diiyakan isinya". Oleh karena itu persetujuan ini merupakan persetujuan bersama, persetujuan masyarakat, maka paupau rikadong dapat juga diartikan secara bebas sebagai cerita masyarakat, cerita rakyat. Paupau rikadong juga menyimpan perbendaharaan pengetahuan dan nilai-nilai budaya orang Bugis.

Melalui buku ini penulis telah menunjukkan kepada pembaca, apa saja nilai-nilai utama dalam budaya Bugis, sehingga masyarakat Bugis akan merasa bangga dan dapat menghargai kembali nilai-nilai leluhurnya, serta kemudian berupaya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, penulis juga telah memberikan gambaran yang cukup jelas dan gamblang, bagaimana dan dalam bidang apa nilai-nilai tersebut diterapkan. Manfaat ini semakin terasa, ketika contoh-contoh kongkret penerapan ini diambil dari kehidupan para bangsawan atau lapis atas masyarakat, sehingga kesan bahwa kaum bangsawan Bugis memiliki hak istimewa tertentu di hadapan hukum dapat terkikis.

Paparan tentang nilai-nilai utama budaya Bugis di sini juga dapat digunakan sebagai bahan refleksi, bercermin diri, oleh orang Bugis —atau mereka yang merasa dirinya sebagai orang Bugis—, berkenaan dengan jatidiri mereka, dengan posisi budaya mereka dalam konteks kebudayaan nasional Indonesia yang lebih luas.

Dengan mengetahui nilai-nilai utama ini orang Bugis dapat mengetahui unsur-unsur budaya mana dari budaya mereka yang dapat mereka sumbangkan kepada suku bangsa lain, kepada bangsa Indonesia, dan pada kemajuan peradaban manusia di masa-masa yang akan dating
.


Kisah Sawerigading - Cerita Rakyat Sulawesi Selatan
Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading
berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas
(lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung.
Jadi, Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di
atas bambu betung. Menurut cerita, ketika Bataraguru (kakek
Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan
ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai
saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak
kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga
mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik
kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk
melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara
kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Sawerigading berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja
bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara
Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan
manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan
satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu
Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki
bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan
We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal
menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara
kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun
membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia
menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng
istana sejak masih bayi.
Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik
jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana
diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk
mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun
sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate
karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu
dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya
karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.
Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat
kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar
yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut.
“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya
Sawerigading dengan kaget.
“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan
dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap
pengawal itu.
Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara
kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi,
Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu
dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang
mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera
memanggil putranya itu untuk menghadap.
“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling
menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui
bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar
dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!”
bujuk Raja Luwu Batara Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat
Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading
mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina
(bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip
dengannya.
“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang
bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai
bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.
“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan
adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan
sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We
Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia
berbersedia menikah dengan Sawerigading.
“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai,
gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya,
aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng.
Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina,
walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak
diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina,
Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan
ombak besar di tengah laut.
“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai,
besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé
raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’.
Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud
ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang
pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya
telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal
itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading
kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian
aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun
mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya.
Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng
secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya
sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu
yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu
menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak
kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu
layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku
membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk
menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,”
pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan,
berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina.
Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan
seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama
pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat
sampai di tujuan.
Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We
Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung
kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk
menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai
tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut
mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu
saya meninggal.”
Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang
halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya.
Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro
pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan
We Cudai.
“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang
dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.
Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera
mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh
keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk
mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.
Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang
tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal
Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan
saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan
mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera
kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai.
Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan
pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus
penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian
kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di
istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud
kedatangannya ke Negeri Cina.
“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra
Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang
menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya
Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap
Sawerigading.
“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu
adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.
Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang
dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya
menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke
Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui
keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku.
Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai
anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya
serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya
untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di
samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di
hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba
berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak
lain adalah Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai
tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu
beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya
Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini
dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta
Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin
itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin
yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya.
Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai.
Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng.
“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran
Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga
Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah
dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira
Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu.
Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya
diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya
untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan
memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada
di perahu ke istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian,
pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap
rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan
tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang
anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan
tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya.
Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk
mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan
istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung
halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah
menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena
istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama
beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka
tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi.
Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui
banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di
tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di
Negeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal
di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang
ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya
untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah
pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi
penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama
Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap
di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri
Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas
penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam,
Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri
Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu.
Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi
karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi
penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
* * *
Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran
yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini
ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai
keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat.

























PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Oleh Amirul Mukminin

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?

Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan

Manajemen Media Cetak Menghadapi Persaingan

                       Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto menghasilkan ledakan dalam bisnis media massa, termasuk media cetak. Berbagai bentuk kekangan bagi bisnis ini dilepaskan. Pemerintah mencabut ketentuan SIUP(surat izin usaha penerbitan). Siapa­pun bisa leluasa terjun ke industri pers ini. Ratusan surat kabar, majalah, tabloid dengan gampang diterbitkan. Saat ini ada ratusan atau ribuan surat kabar baru yang terbit dalam berbagai bentuk. Untuk itu, topik bahasan ini akan menyoroti perkembangan bisnis media cetak, baik yang berkaitan dengan tiras maupun iklan, serta strategi redaksi dalam menerobos pasar sebagai titik tolak untuk menganalisis dan membahas strategi manajemen bisnis pers menghadapi persaingan keras dan berbagai langkah untuk mencari peluang agar bisnis media

Perkembangan tiras media cetak:

Untuk mengetahui perkembangan media cetak dari tahun ke tahun, bisa dilihat untuk kurun waktu dari 1995. Ini perlu untuk membandingkan keadaan sebelum reformasi dan keadaan kemudian setelah reformasi. Jumlah surat kabar harian pada tahun 1998 sebanyak 172 buah. Ini pun merupakan kenaikan besar dari 1995 (77 buah), menjadi 79 buah di tahun 1997. Sementara surat kabar mingguan tercatat tahun 1998 sebanyak 425 buah, majalah mingguan 55 buah dan majalah tengah bulanan 104 buah. Berdasarkan wilayah, media cetak yang terbit di Jakarta tahun 1998 sebesar 431 buah (lihat Tabel 1 dan 2 tentang perkembangan media massa).
Ledakan bisnis media cetak itu juga mempengaruhi perkembangan total tiras di Indonesia (data tercatat sejak 1995). Total tiras per 1995 sebesar 13,04 juta eksemplar, dan tahun 1998 mencapai 16,70 juta eksemplar. Rincian tiras koran, majalah, tabloid, dll bisa dilihat di tabel 3. Pertumbuhan pesat ini tentu tak lepas dari keinginan investor untuk mencoba berbisnis di dunia pers, mengharap bisa memetik untung baik secara finansial maupun keuntungan lain di dunia bisnis informasi ini. Gegap gempitanya bisnis media cetak itu juga dirasakan di daerah. Apalagi sejumlah media cetak sudah melakukan sistem cetak jarak jauh (SCJJ).
Koran berskala nasional dikemas dengan tambahan halaman. daerah. Selain itu, banyak perkembangan baru dalam manajemen dan bisnis media cetak di daerah sehingga mendorong oplah dan perolehan iklan untuk media di daerah. Dan ini kiranya akan menjadi awal yang baik karena nanti, kalau otonomi daerah dilaksanakan, perkembangan bisnis pers tersebut pasti akan menjadi modal yang sangat menguntungkan. Tak sedikit media cetak daerah yang tampil meyakinkan dengan tiras yang lumayan dan pendapatan iklan memadai. Ambil contoh perkembangan tirasnya di Sumatera Selatan. Tahun 1998 sebesar 225,3 ribu eksemplar, meningkat dari 97,3 ribu di tahun 1995 (Iihat Tabel 4: perkembangan tiras media cetak menurut daerah dan Tabel 5: Perkembangan tiras beberapa media massa cetak di Indonesia.).
Perkembangan perolehan iklan ,Selain mengembangkan jumlah oplah yang dicetak dan dijual, bisnis media cetak juga ditopang oleh penghasilan dari iklan. Krisis ekonomi rupanya telah membuat bisnis periklanan merosot. Kue iklan Indonesia selama masa krisis ekonomi menyusut hingga 50%. Bahkan, menurut perhitungan P31, belanja iklan nasional turun sampai 70%. Belanja iklan tahun 1995 sebesar Rp 3,4 triliun, tahun 1996 menjadi Rp 4,14 triliun, dan 1997 menjadi Rp 5,09 triliun atau naik 23,04% dibanding 1996. Tahun 1999, belanja iklan sekitar 4,67 triliun atau naik 23,04% dari tahun 1998 sebesar Rp 3,76 triliun. Penurunan sangat besar terjadi dari 1997 ke 1998 dan 1999. Berapa iklan yang diserap media cetak? Koran pada 1998 menyedot 25% atau Rp 956 miliar, majalah Rp 191 miliar, dan di tahun 1999 sekitar Rp 201 miliar. (Lihat tabel 6: Pendapatan iklan menurut media). 

Persaingan memperebutkan kue iklan yang begitu ketat membuat sejumlah media cetak kalah perang dan tak mendapat bagian iklan. Selain persaingan antar media cetak sendiri, kelompok media cetak juga mendapat pukulan berat dari televisi swasta yang menyedot sekitar 60,4% kue iklan pada 1999. Tahun‑tahun sebelumnya, televisi merebut jatah iklan lebih dari 50%. Selain itu, juga ada saingan yang tak kalah menarik yakni radio swasta. Mereka juga agresif dalam upaya menyedot iklan (Lihat Tabel 7: Perkembangan pendapatan iklan menurut media). Bagaimana proyeksi tahun 2000 ini? Belanja iklan di surat kabar tahun 1999 sekitar Rp 1.089 miliar, yang akan meningkat menjadi Rp 1.292 miliar tahun 2000, dan hingga 2002 diperkirakan mencapai Rp 1.614 miliar. Sedang belanja iklan untuk jenis majalah tahun 1999 diperkirakan akan mencapai Rp 233 miliar, dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 284 miliar tahun 2000 dan hingga 2002 diperkirakan mencapai Rp 423 miliar. Selain persaingan ketat antar media cetak, duit iklan ini juga diperebutkan oleh televisi (yang tahun ini paling tidak akan tambah dua atau tiga televisi lagi).

Strategi Manajemen Bisnis Media Massa Menghadapi Persaingan Bebas.

Di tengah persaingan yang ketat dan keras itu, setiap pengelola bisnis media massa mesti mengatur strategi dan taktik yang jitu agar tetap memenangkan persaingan atau memetik untung dari ramainya bisnis media massa itu, dan bisa bertahan hidup. Ada beberapa hal perlu diperhatikan, sebelum membuka bisnis media cetak.
1.      Modal
2.      Sumber daya manusia
3.      Visi dan Misi
4.      Memilih segmen yang jelas.

Modal diperlukan baik untuk investasi maupun biaya operasi dan produksi sampai perusahaan itu membuahkan untung atau balik modal. Setelah untung pun, perusahaan masih perlu mencadangkan dana untuk re‑investasi atau pengembangan. Selain itu juga diperlukan investasi fisik lainnya seperti peralatan, teknologi, dan faktor‑faktor penunjang lainnya seperti percetakan, gedung, angkutan dan lain‑lain.

Sumber daya manusia (SDM) adalah tenaga inti kewartawanan dan manajemen yang akan menjadi motor utama bisnis media cetak itu. Untuk melahirkan produk media cetak yang bagus, harus disiapkan SDM yang bagus pula, tentu dengan imbalan yang memadai. Kalau wartawan dan karyawan tak digaji dengan cukup, jangan harap produk yang dihasilkan akan baik, laku dan mampu mengalahkan saingannya. Selain itu, SDM yang tak digaji dengan cukup akan cenderung terjebak "mencari penghasilan" dengan memperjualbelikan profesi, terlibat pemerasan, kriminal, main amplop, dan lain‑lain. Investor sejak mula harus didesak untuk memenuhi kebutuhan pokok wartawan dan karyawannya yakni gaji dan berbagai tunjangan. SDM yang tak memiliki integritas tak mungkin akan menghasilkan produk yang kredibel, baik bagi pelanggan maupun pemasang iklan. Independensi dalam editorial policy akan memberikan arah yang fair untuk content media cetak itu, dan membuat produk semakin kredibel.
Visi dan misi dirumuskan sebagai acuan berbagai langkah bisnis media cetak itu. Kejelasan ini akan menentukan desain, gaya penyajian, isi, cara kerja karyawan, struktur organisasi, gaya manajemen dan lain‑lain. Misi dan visi bukan cuma dirumuskan sebagai kata‑kata mutiara tapi diterapkan dan akan menjiwai gaya penyajian redaksi, sikap SDM, etika dalam bisnis, sistem penggajian, dll. Dengan misi dan visi itu, semua pihak memaklumi apa target dan arah dari bisnis media informasi

            Memilih segmen konsumen dengan jelas menjadi penting agar mendapatkan konsumen yang jelas dan tepat sasaran. Tanpa pemilihan segmen yang jelas, produk akan mengambang dan tak jelas arah. Dalam persaingan yang ketat seperti sekarang ini, pemilihan segmen menjadi penting karena akan menjadi acuan untuk spesialisasi, menentukan strategi pemasaran dan promosi, penetapan positioning, dll. Segmen juga bermacam‑macam. Bisa segmen berdasarka demografik, profesi, minat, maupun motivasi (benefit segmented) yakni mereka yang mengharapkan keuntungan dari produk yang dibelinya. Mereka memiliki kepentingan bersama yakni mendapatkan manfaat.

Strategi yang perlu dipertimbangkan untuk menghadapi persaingan

a). Strategi Pemasaran

Tugas memasarkan produk bukan cuma menjadi tanggungjawab bagian sirkulasi atau iklan. Dalam bisnis informasi seperti yang sekarang ini, produk sendiri harus dirancang agar laku dijual. Sebelum produk diluncurkan, pengelola mesti memikirkan siapa yang menjadi sasaran konsumennya (kelas menengah, pengusaha, mahasiswa, petani, dan lain­lain). Tentu, sasaran yang dipilih adalah mereka yang mempunyai daya beli dan kebutuhan untuk mendapat informasi.
Segenap lapisan di perusahaan harus siap memasarkan produknya. Mulai dari redaksi, personalia, satpam, sampai sales dan account executif. Tentu, "semangat menjual" ini harus sesuai dengan peran masing‑masing. Personalia. harus mengarahkan segenap karyawan untuk siap sedia melayani konsumen sesuai dengan perannya, misaInya menjawab telepon dengan baik atau menunjang pelaksanaan penjualan. Satpam harus bersikap ramah kepada setiap pelanggan atau konsumen yang datang. Bukan berlaku seperti provost di suatu instansi militer. Redaksi senantiasa berpikir untuk bisa menjual produknya pada saat merancang berita yang akan ditulisnya. Berita adalah informasi yang harus dijual kepada masyarakat, bukan sekadar karya yang dipakai untuk memuaskan diri. Sense of marketing yang mesti dimiliki oleh semua lapisan dalam suatu bisnis media cetak akan membantu penjualan produk.
b). Bagaimana Menghadapi Persaingan?
  1. Fair competition
  2. Membangun jaringan (networking) dalam pemasaran
  3. Memelihara pelanggan dengan ikatan yang lebih personal untuk lebih memberikan kepuasan pelanggan.
  4. Mengembangkan pasar baru pada segmennya
  5. Melakukan promosi baik untuk memperkokoh image maupun untuk mendukung sales
  6. Mempertahankan kredibilitas di depan konsumen (pembaca maupun pernasang iklan).
  7. Mengembangkan produk‑produk sampingan untuk menambah penghasilan.
Banyak masalah yang mesti dihadapi dalam urusan masuk ke pasar media cetak. Sebab, penerbit harus mengkoordinasikan jaringan agen dan pengecer yang begitu kuat posisi tawarnya. Tak jarang penerbit justru ditekan dan ditentukan oleh agen tersebut. Untuk produk baru atau media cetak yang baru terbit, sering tak bisa dijual karena perlakuan jaringan agen yang begitu kuat.

Bagaimana penerbit mesti menghadapi agen dan jaringannya

Memilih segmen konsumen dengan jelas menjadi penting agar mendapatkan konsumen yang jelas dan tepat sasaran. Tanpa pemilihan segmen yang jelas, produk akan mengambang dan tak jelas arah. Dalam persaingan yang ketat seperti sekarang ini, pemilihan segmen menjadi penting karena akan menjadi acuan untuk spesialisasi, menentukan strategi pemasaran dan promosi, penetapan positioning, dll. Segmen juga bermacam‑macam. Bisa segmen berdasarka demografik, profesi, minat, maupun motivasi (benefit segmented) yakni mereka yang mengharapkan keuntungan dari produk yang dibelinya. Mereka memiliki kepentingan bersama yakni mendapatkan manfaat.

Perkembangan perolehan iklan
Selain mengembangkan jumlah oplah yang dicetak dan dijual, bisnis media cetak juga ditopang oleh penghasilan dari iklan. Krisis ekonomi rupanya telah membuat bisnis periklanan merosot. Kue iklan Indonesia selama masa krisis ekonomi menyusut hingga 50%. Bahkan, menurut perhitungan P31, belanja iklan nasional turun sampai 70%.
Belanja iklan tahun 1995 sebesar Rp 3,4 triliun, tahun 1996 menjadi Rp 4,14 triliun, dan 1997 menjadi Rp 5,09 triliun atau naik 23,04% dibanding 1996. Tahun 1999, belanja iklan sekitar 4,67 triliun atau naik 23,04% dari tahun 1998 sebesar Rp 3,76 triliun. Penurunan sangat besar terjadi dari 1997 ke 1998 dan 1999. Berapa iklan yang diserap media cetak? Koran pada 1998 menyedot 25% atau Rp 956 miliar, majalah Rp 191 miliar, dan di tahun 1999 sekitar Rp 201 miliar. (Lihat tabel 6: Pendapatan iklan menurut media).
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers harus menghormati hak asasi setiap orang, oleh karena itu pers selalu dituntut untuk profesional dan terbuka kepada masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman berperilaku dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan profesionalisme kerja. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Selain jurnalis media cetak, jurnalis media siar (pertelevisian) pun mempunya suatu pedoman etik yang dibuat oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Kode etik tersebut disebut sebagai Kode Etik Jurnalis Televisi. Baik Kode Etik Jurnalistik maupun Kode Etik Jurnalis Televisi, keduanya dimaksudkan untuk menetapkan landasan atau dasar berperilaku bagi para jurnalis dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Periodisasi kode etik berlangsung mulai dari news gathering (sebelum menulis atau apa yang akan ditulis), editing (saat menulis dan mengolah berita), sampai pada tahap presenting (penyajian berita). Proses dari news gathering sampai dengan presenting semata-mata dilakukan untuk ‘seeking the truth’ guna ‘telling the truth’.
 Di mulai dari proses news gathering, dalam Kode Etiki Jurnalistik tercantum di Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 dan Pasal 6 sampai Pasal 7 yang berisi:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran dalam pasal ini ialah bahwa independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara, tidak berat sebelah. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran atas cara-cara yang profesional adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber; menghormati hak privasi; tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran dalam pasal ini adalah bahwa menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsirannya adalah, bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.

Maksudnya, menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsirannya, hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Ketujuh pasal di atas dalam Kode Etik Jurnalistik diterapkan pada saat proses news gatehering atau pengumpulan berita. Mulai dari keharusan seorang jurnalis untuk memiliki itikad baik dalam pencarian berita, melaksanakan tugas dengan cara-cara profesional, sampai dengan kewajiban wartawan untuk menghargai narasumber yang tidak bersedia untuk diketahui identitasnya. Semua hal tersebut dilakukan pada saat upaya pengumpulan berita. Lalu begitu juga dengan jurnalis televisi. Dalam Kode Etik Jurnalis Televisi, kode etik yang mengacu pada proses news gathering tercantum dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 dan Pasal 11 sampai Pasal 13 yang berisi:


Pasal 2
Jurnalis Televisi Indonesia adalah pribadi mandiri dan bebas dari benturan kepentingan, baik yang nyata maupun terselubung.

Artinya bahwa jurnalis televisi tidak boleh memihak suatu pihak tertentu (harus impasial) dan objektif dalam menyiarkan berita. Tidak boleh ada suatu maksud terselubung dalam menyiarkan berita.
Pasal 4
Jurnalis Televisi Indonesia tidak menerima suap dan menyalahgunakan profesinya.

Sama seperti di dalam Kode Etik Jurnalistik, jurnalis televisi juga tidak boleh menerima suap dalam bentuk apa pun dan untuk maksud apa pun, karena jika sampai hal itu terjadi maka jurnalis tersebut telah melanggar etika profesi dan termasuk juga dalam hal penyalahgunaan profesi.
Pasal 11
Jurnalis Televisi Indonesia menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi sumber berita.

Artinya adalah bahwa jurnalis televisi tidak boleh mengganggu privasi seseorang apalagi jika hal tersebut bisa merendahkan harkat dan martabat seseorang. Seorang jurnalis harus menghormati dan menghargai hak pribadi seseorang.
Pasal 12
Jurnalis Televisi Indonesia melindungi sumber berita yang tidak bersedia diungkap jati dirinya.

Hal ini juga sama seperti dalam Kode Etik Jurnalistik, bahwa setiap jurnalis wajib menggunakan hak tolak bila dimintai identitas narasumber oleh pihak tertentu, terlebih lagi jika narasumber sudah terlebih dulu meminta agar identitasnya tidak diberitahukan maka jurnalis wajib melindungi identitas narasumber yang bersangkutan.
Pasal 13
Jurnalis Televisi Indonesia memperhatikan kredibilitas dan kompetensi sumber berita.

Dalam mencari berita, seorang jurnalis televisi juga harus memperhatikan kredibilitas dan kompetensi sumber berita. Apakah kredibel atau tidak, dan kompeten atau tidakkah sumber berita yang didapat.
 Kemudian selanjutnya setelah news gathering atau pengumpulan berita dan apa yang akan ditulis, langkah berikutnya adalah proses editing atau menulis dan mengolah berita. Dalam Kode Etik Jurnalistik, panduan menulis dan mengolah berita terdapat pada Pasal 8, yaitu:
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran adalah prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas, dan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
            Dalam Kode Etik Jurnalis Televisi memang tidak disebutkan secara terperinci mengenai kode etik dalam mengolah atau menyunting berita, karena pada dasarnya berita yang akan disiarkan pun sebelumnya harus melewati proses editing, sehingga kode etik dalam hal editing dalam media siar sama dengan media cetak. Selanjutnya adalah proses presenting atau penyajian/penyiaran. Dalam Kode Etik Jurnalistik, pengaturan masalah penyajian berita terdapat di Pasal 5 dan Pasal 10 sampai Pasal 11, yaitu:


Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Maksudnya bahwa identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak, dan anak mengacu seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran “segera” berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
            Sementara itu, masalah presenting dalam jurnalis televisi dibahas dalam Kode Etik Jurnalis Televisi di Pasal 3 dan Bab III tentang Cara Pemberitaan (Pasal 5 sampai Pasal 10), yaitu:
Pasal 3
Jurnalis Televisi Indonesia menyajikan berita secara akurat, jujur dan berimbang, dengan mempertimbangkan hati nurani.

Di sini dijelaskan bahwa berita yang disiarkan haru akurat, jujur, berimbang, dan mempertimbangkan hati nurani. Artinya jurnalis televisi harus memperhitungkan masalah patut atau tidaknya suatu berita disiarkan. Walaupun mungkin berita tersebut ditunggu-tunggu oleh banyak penonton atau sesuai dengan selera/banyak permintaan dan juga bisa menaikkan rating, tapi bila bukan suatu hal yang pantas dan penting untuk diberitakan maka seorang jurnalis dengan mempertimbangkan hati nurani dan etika tidak perlu menyiarkan berita tersebut karena tidak berhubungan dengan public interest.

BAB III
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
Dalam menayangkan sumber dan bahan berita secara akurat, jujur dan berimbang, Jurnalis Televisi Indonesia:
a.       Selalu mengevaluasi informasi semata-mata berdasarkan kelayakan berita, menolak sensasi, berita menyesatkan, memutar balikkan fakta, fitnah, cabul, dan sadis.
b.      Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa.
c.       Tidak merekayasa peristiwa, gambar maupun suara untuk dijadikan berita.
d.      Menghindari berita yang memungkinkan benturan yang berkaitan dengan masalah SARA.
e.       Menyatakan secara jelas berita-berita yang bersifat fakta, analisis, komentar, dan opini.
f.       Tidak mencampur-adukkan antara berita dengan advertorial.
g.      Mencabut atau meralat pada kesempatan pertama setiap pemberitaan yang tidak akurat dan memberikan kesempatan hak jawab secara proorsional bagi pihak yang dirugikan.
h.      Menyajikan berita dengan menggunakan bahasa dan gambar yang santun dan patut, serta tidak melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.
i.        Menghormati embargo dan off the record.

Dalam Pasal 5 ini telah dijelaskan secara terperinci mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh jurnalis televise ketika akan menyiarkan berita. Mulai dari mengevaluasi informasi, tidak menayangkan gambar dan suara yang menyesatkan pemirsa, sampai dengan hal yang juga dibahas dalam Kode Etik Jurnalistik, yaitu menghormati embargo dan off the record.
Pasal 6
Jurnalis Televisi Indonesia menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Sama seperti pada penafsiran Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik mengenai menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah yang berarti prinsip tidak menghakimi seseorang secara sepihak.
Pasal 7
Jurnalis Televisi Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila dan kejahatan anak dibawah umur, wajib menyamarkan identitas wajah dan suara tersangka maupun korban
Sama seperti dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik, bahwa penafsiran mengenai “anak” di sini adalah seseorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Penyamaran identitas tersebut berhubungan dengan masalah etika dan harga diri seorang anak yang menjadi korban kejahatan susila. Oleh karena itu menyamarkan identitas korban sangat penting dan harus, tapi tetap tidak mengurangi esensi berita yang disajikan.
Pasal 8
Jurnalis Televisi Indonesia menempuh cara yang tidak tercela untuk memperoleh bahan berita.
Artinya bahwa jurnalis televisi harus melihat dan mengutamakan kepentingan publik dalam memperoleh bahan berita, bukan hanya karena alasan tuntutan profesi kemudian bisa menempuh berbagai cara untuk mendapatkan berita.
Pasal 9
Jurnalis Televisi Indonesia hanya menyiarkan bahan berita dari stasiun lain dengan izin.
Ini sangat penting karena setiap berita yang disiarkan oles suatu stasiun televisi tertentu berarti menjadi hak siar stasiun tersebut. Jika sebuah stasiun televisi ingin menyiarkan berita yang sama persis atau ingin juga menayangkan berita yang sama dari stasiun televisi lainnya maka stasiun televisi ini wajib untuk meminta izin penyiaran kepada stasiun televisi yang bersangkutan.
Pasal 10
Jurnalis Televisi Indonesia menunjukkan identitas kepada sumber berita pada saat menjalankan tugasnya.
Dengan menunjukkan identitas kepada narasumber, hal ini menunjukkan bahwa jurnalis tersebut adalah seorang jurnalis yang profesional dan akuntabel. Menunjukkan identitas diri adalah salah satu etika yang penting untuk dilakukan oleh semua jurnalis.
Setelah semua penjelasan mengenai periodisasi Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalis Televisi, masalah penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers dan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Sementara untuk Kode Etik Jurnalis Televisi, kode etik tersebut secara moral mengikat setiap Jurnalis Televisi Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) sesuai dengan Pasal 14 Bab V mengenai Kekuatan Kode Etik.
MANAJEMEN MEDIA PENYIARAN
Manajer program bertanggung jawab melaksanakan rencana program yang sudah ditetapkan dengan cara memproduksi sendiri program atau mendapatkannya dari sumber lain atau akuisisi (membeli). Dalam melakukan akuisisi, manajer program harus terlebih dulu berkonsultasi dengan manajer pemasaran dan manajer umum. Dalam hal perencanaan program memutuskan untuk memproduksi sendiri program yang diinginkan maka tugas tersebut dilakukan oleh bagian produksi atau departemen produksi stasiun penyiaran. Kata kunci untuk memproduksi atau membuat program adalah ide atau gagasan. Dengan demikian setiap program selalu dimulai dari ide atau gagasan, Ide atau gagasan inilah yang kemudian diwujudkan melalui produksi. Ide atau gagasan dapat berasal dari mana saja dan dari siapa saja.  Terkadang gagasan untuk membuat program dapat berasal dari media massa, misalnya dari siaran radio, surat kabar dan sebagainya.
Media penyiaran membutuhkan program untuk mengisi waktu siarannya dan tidak akan berfungsi apa-apa tanpa tersedia program untuk disiarkan. Media penyiaran dikenal oleh khalayak dari berbagai program yang ditayangkannya. Rata-rata stasiun televisi melakukan siaran selama 20 jam dalam satu hari. Bahkan ada televisi yang siaran selama 24 jam non stop. Jika stasiun televisi siaran selama 20 jam sehari maka harus tersedia program selama 20 jam untuk satu hari atau 140 jam seminggu atau 600 jam sebulan. Tanggung jawab bagian programlah untuk menyediakan berbagai program itu. Program bisa diperoleh dengan cara membeli atau memproduksinya sendiri. Suatu program yang dibuat sendiri oleh media penyiaran disebut dengan istilah in-house production atau produksi sendiri. Jika program dibuat pihak lain, berarti stasiun penyiaran membeli program itu. Dengan demikian, dilihat dari siapa yang memproduksi program maka terdapat dua tipe program yaitu program yang diproduksi sendiri dan program yang diproduksi pihak lain.
Ada kalanya stasiun penyiaran, meminta pihak lain untuk memproduksi suatu program. Biasanya ini terjadi jika stasiun penyiaran tidak memiliki peralatan produksi yang memadai namun memiliki ide untuk dikembangkan. Ini berarti ide atau gagasan berasal dari stasiun penyiaran namun produksi dilakukan pihak lain.  Jika dilihat asal mula program televisi, ditinjau dari siapa yang memproduksi program, maka dapat membagi program sebagai berikut:
1.      Program yang dibuat sendiri (In-house Production), biasanya adalah program berita (news programme) dan program yang terkait dengan informasi misalnya: laporan khusus, infotainment, laporan kriminalitas, fenomena sosial, perbincangan (talk show), biografi tokoh, feature, film dokumenter. Program yang menggunakan studio, misalnya game show, kuis, musik, variety show juga termasuk program yang dibuat sendiri.
2.      Program yang dibuat pihak lain utamanya jenis program hiburan misalnya: program drama (film, sinetron, telenovela), program musik (videoklip), program reality show dan lain-lain.
Namun demikian, pembagian tersebut di atas sebenarnya tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan kebiasaan saja. Di Indonesia, program sinetron dan reality show biasanya dibuat pihak diluar stasiun televisi, namun ini tidak berarti stasiun televisi tidak dapat memproduksi sendiri program jenis tersebut. Suatu program bisa saja diproduksi stasiun televisi dan juga bisa diproduksi pihak lain. Misalnya film dokumenter atau biografi tokoh terkadang dibuat rumah produksi walaupun sebenarnya stasiun televisi juga memiliki kemampuan untuk membuatnya.
Manajer produksi bertanggung jawab terhadap sejumlah pekerjaan, diantaranya:
memproduksi program lokal (inhouse), iklan dan pelayanan umum serta pengumuman (promotional announcement). mengawasi seluruh pemain serta personalia produksi.
melakukan penjadwalan progam siaran langsung (live) atau produksi yang direkam,
mengawasi seluruh isi program yang ditayangkan, darimanapun sumbernya.
Departemen produksi dapat diorganisir secara vertikal dan horizontal:
1.       Vertikal (hirarkis). Pada sistem ini, komando produksi mengalir dari atas ke bawah,    misalnya dari produser kepada sutradara, dan selanjutnya kepada staf kreatif dan produksi.
2.      Horizontal (kooperatif). Setiap anggota tim produksi memiliki kewenangan yang sama dan keputusan dibuat bersama.
Pada umumnya mekanisme kerja produksi program menggabungkan kedua aspek tersebut, dimana produser atau sutradara membuat berbagai keputusan penting namun keduanya tetap membutuhkan bantuan, dukungan, arahan dan masukan dari seluruh tim kreatif dan tim teknis yang terlibat. Tim produksi bukanlah tim yang murni demokrasi, namun selalu membutuhkan kerja kolektif dari seluruh individu yang terlibat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar