Kamis, 22 Desember 2011


Kisah Sawerigading - Cerita Rakyat Sulawesi Selatan
Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading
berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas
(lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung.
Jadi, Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di
atas bambu betung. Menurut cerita, ketika Bataraguru (kakek
Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan
ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai
saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak
kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga
mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik
kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk
melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara
kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Sawerigading berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja
bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara
Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan
manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan
satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu
Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki
bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan
We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal
menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara
kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun
membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia
menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng
istana sejak masih bayi.
Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik
jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana
diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk
mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun
sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate
karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu
dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya
karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.
Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat
kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar
yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut.
“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya
Sawerigading dengan kaget.
“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan
dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap
pengawal itu.
Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara
kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi,
Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu
dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang
mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera
memanggil putranya itu untuk menghadap.
“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling
menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui
bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar
dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!”
bujuk Raja Luwu Batara Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat
Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading
mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina
(bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip
dengannya.
“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang
bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai
bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.
“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan
adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan
sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We
Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia
berbersedia menikah dengan Sawerigading.
“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai,
gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya,
aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng.
Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina,
walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak
diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina,
Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan
ombak besar di tengah laut.
“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai,
besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé
raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’.
Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud
ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang
pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya
telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal
itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading
kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian
aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun
mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya.
Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng
secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya
sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu
yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu
menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak
kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu
layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku
membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk
menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,”
pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan,
berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina.
Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan
seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama
pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat
sampai di tujuan.
Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We
Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung
kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk
menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai
tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut
mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu
saya meninggal.”
Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang
halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya.
Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro
pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan
We Cudai.
“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang
dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.
Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera
mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh
keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk
mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.
Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang
tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal
Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan
saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan
mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera
kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai.
Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan
pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus
penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian
kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di
istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud
kedatangannya ke Negeri Cina.
“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra
Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang
menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya
Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap
Sawerigading.
“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu
adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.
Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang
dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya
menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke
Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui
keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku.
Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai
anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya
serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya
untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di
samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di
hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba
berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak
lain adalah Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai
tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu
beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya
Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini
dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta
Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin
itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin
yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya.
Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai.
Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng.
“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran
Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga
Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah
dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira
Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu.
Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya
diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya
untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan
memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada
di perahu ke istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian,
pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap
rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan
tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang
anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan
tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya.
Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk
mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan
istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung
halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah
menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena
istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama
beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka
tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi.
Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui
banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di
tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di
Negeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal
di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang
ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya
untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah
pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi
penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama
Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap
di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri
Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas
penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam,
Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri
Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu.
Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi
karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi
penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
* * *
Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran
yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini
ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai
keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat.

























PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Oleh Amirul Mukminin

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?

Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan